Penerapan system profit and loss sharing (bagi hasil
keuntungan dan kerugian) di dunia mulai diterapkan pertama kali di Pakistan dan
Malaysia sejak sekitar tahun 1940-an, yaitu dengan adanya upaya pengelolaan
dana jamaah haji secara inovatif dengan system bagi hasil. Bank syariah di
dunia dimulai dengan didirikannya Mit Ghamr Bank- di Kairo, Mesir, pada sekitar
tahun 1963. Secara signifikan, perkembangan bank syariah di dunia mulai
berkembang pesat sejak didirikannya Islamic
Development Bank (IDB) di Jeddah, pada tahun 1975. Selain itu disusul oleh
Dubai Islamic Bank (1975), Kuwait Finance House (1977), Islamic Faisal Bank (
di Mesir dan Sudan) pada tahun 1978, Jordan Islamic Bank for Finance and
Investment , Bahrain Islamic Bank, dan Islamic International Bank for
Investment and Development. Dan setelah itu barulah bank Syariah mulai menjamur
di dunia.
Sedangkan perkembangan Bank
Syariah di Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan perbankan syariah di
Negara-negara Islam pada tahun 1970-an.
Awal periode 1980-an, para cendekiawan muslim telah mulai membangkan wacana dan
studi mengenai Bank Syariah. Setelah melalui kajian yang cukup panjang, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pada 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga
Bank dan Perbankan di Cisariua, Bogor. Kemudian hasil Lokakarya tersebut
ditindaklanjuti dengan diadakannya Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta pada
tanggal 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas tersebut dibentuklah
kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia.
Bank Muamalat adalah Bank
Syariah yang didirikan pertama kali di Indonesia, Bank ini berdiri pada 1
November 1991 dan mulai beroperasi pada 1 Mei 1992. Pada saat itu bank dengan
system bagi hasil sudah diperbolehkan beroperasi oleh pemerintah. Dan pada
tahu 1998 peraturan tentang operasional
Bank Syariah sudah semakin membaik. Bank Konvensionaldiperbolehkan untuk
membuka Bank Syariah. Karena itulah pada tahun 1999 mulai berdiri Bank Syariah
Mandiri Unit Usaha (UUS) Bank IFI. Setelah tahun 1999, di Indonesia mulai
banyak berdiri bank-bank Syariah lain sehingga saat ini tak kurang dari 37 bank
sudah melayani transaksi syariah.
B.
JENIS-JENIS
BANK SYARIAH
Dilihat dari jenisnya, terdapat 4 macam
Bank Syariah, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Bank Umum Syariah (BUS)
BUS (Bank Umum Syariah) adalah bank yang sudah
berdiri sendiri dan memiliki status perusahaan tersendiri (perusahaan terbuka)
sehingga dapat mengelola segala teknis operasionalnya sendiri. Pada saat
pertengahan tahun 2008 ada 4 BU, yaitu Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri,
Bank Syariah Mega Indonesia, dan Bank Persyarikatan Indonesia.
2.
Unit Usaha Syariah (UUS)
Kedudukan UUS terhadap Bank induknya (yang
konvensional) biasanya setingkat divisi, departemen, group, bisnis unit, atau
bahkan produk. Tetapi dana yang ada tidak akan tercampur dengan yang
konvensionalnya, dikarenakan pencatatan/pembukuannya berbeda. Bahkan meskipun
transaksi dilakukan di counter bank
induk yang konvensional, pencatatan di system bank juga berbeda, dan pelaporan
ke Bank Indonesia juga berbeda, jadi secara prinsip dana yang diterima dari
bank syariah tidak akan tercampur dengan bank konvensionalnya.
Saat ini yang termasuk UUS diantaranya adalah
Bank IFI Syariah, Bank BNI Syariah, Bank Bukopin Syariah, Bank BRI Syariah,
Bank Danamon Syariah, Bank BII Syariah, Bank HSBC Amanah Syariah, Bank Niaga
Syariah, Bank Permata Syariah, Bank BTN Syariah, Bank Ekspor Indonesia Syariah,
Bank BTPN Syariah, Bank Lippo Syariah, dan ABN Amro Bank Syariah, dan masih
dapat bertambah lagi bank-bank syariah lainnya seiring dengan pertumbuhan bank
syariah yang begitu pesat.
Pada UUS ini, bisa diubah menjadi bank syariah
tersendiri yaitu dengan cara spin off (pemisahan)
dari bank induknya. Proses ini diawali dengan cara akuisisi terhadap sebuah
bank (biasanya bank kecil). Bank yang akan diakuisisi bisa bank konvensional
bisa juga pada bank syariahnya. Tetapi dengan berbagai pertimbangan, biasanya
akuisisi lebih disarankan dilakukan terhadap bank konvensional. Kemudian
setelah tahap akuisisi, ada lagi proses konversi, migrasi, dan transfer asset.
3.
Unit Usaha Syariah Bank Pembanguna Daerah (UUS
BPD)
UUS BPD adalah UUS yang dimiliki oleh Bank
Pembangunan Daerah. UUS BPD saat ini terdiri dari Bank Jabar Syariah, Bank DKI
Syariah, Bank Riau Syariah, Bank Sumut Syariah, BPD Aceh Syariah, BPD Kalsel
Syariah, BPD NTB Syariah, Bank Sumsel Syariah, Bank Kalbar Syariah, BPD DIY
Syariah, BPD Kaltim Syariah, Bank Nagari Syariah (BPD Sumbar), Bank Jatim
Syariah, Bank Sulsel Syariah, dan Bank Jateng Syariah.
4.
Bank Kustodian Syariah
Bank Kustodian atau biasanya disingkat kustodian
adalah suatu lembaga (bank) yang bertanggung jawab untuk mengamankan asset
keuangan dari suatu perusahaan ataupun perorangan. Bank kustodian ini akan
bertibdak/berperan sebagai tempat penitipan kolektif dari asset seperti saham,
obligasi, serta melaksanakan tugas administrative seperti menagih seperti
penjualan, menerima dividen, mengumpulkan informasi mengenai perusahaan acuan
seperti misalnya Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan, menyelesaikan transaksi
penjulan dan pembelian, melaksanakan transaksi dalam valuta asing apabila
diperlukan, serta menyajikan laporan atas seluruh aktivitasnya sebagai kustodian
kepada kliennya.
Bank yang saat ini melayani kustodian syariah
ada enam yaitu Deutsche Bank, Kustodian Bank HSBC, Kustodian Bank Niaga,
Citibank N.A. Indonesia, Kustodian Bank Bukopin, dan Standard Chartered Bank.
C.
PRODUK
PERBANKAN SYARIAH
Produk perbankan syariah dapat dibagi
menjadi tiga bagian yaitu: Produk
Penyaluran Dana, Penghimpunan Dana dan Produk yang berkaitan dengan jasa yang
diberikan perbankan kepada nasabahnya.Analisis :
Ekonomi pada system syariah berbeda dengan ekonomi pada dasarnya, contohnya pada bank syariah yang tidak menerapkan system bunga seperti bank konvensional melainkan menrapakan system bagi hasil. Tujuan dibentuknya ekonomi syariah ini adalah untuk untuk memberikan kesejahteraan material dan spiritual berbeda dengan bank konvensional yang didirikan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan material sebesar-besarnya. Kesejahteraan material dan spiritual tersebut didapat melalui usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang halal. Artinya, bank syariah tidak akan menyalurkan dana untuk usaha-usaha yang tidak bisa dijamin bahwa hasilnya berasal dari kegiatan yang halal. Karena itu dapat dikatakan bahwa konsep keuntungan pada bank konvensional lebih cenderung, berfokus pada sudut keuntungan materi, sedangkan konsep keuntungan pada bank syariah harus memperhatikan keuntungan dari sudut duniawi dan akhirat. Jika memang tujuan nasabah sesuai dengan tujuan bank syariah, maka secara prinsip tidak ada kekurangan dari menabung di bank syariah karena adanya keseimbangan antara duniawi dan akhirat. Namun apabila tujuan nasabah lebih ke aspek-aspek material, maka bisa jadi keuntungan yang diperoleh akan kurang sesuai dengan harapan.